Review Labu Siam: Si Hijau Renyah Penyelamat Tanggal Tua

Siapa yang tidak kenal dengan si hijau lonjong yang satu ini? Labu Siam, atau yang sering dipanggil 'Jipang' atau 'Manisa' di beberapa daerah, adalah pahlawan tanpa tanda jasa di dapur Indonesia. Kalau kamu pikir ini cuma sayuran pelengkap lalapan di warung pecel lele, *think again*. Labu siam ini ibarat *Swiss Army Knife*-nya dunia persayuran lokal—bisa direbus, ditumis, disantan (lodeh), bahkan dikukus buat teman makan sambal terasi yang *nendang*. Kehadirannya di kulkas seringkali menjadi penyelamat saat bingung mau masak apa, karena dia bisa masuk ke hampir semua jenis masakan rumahan. Secara tekstur, labu siam menawarkan sensasi *crunchy* yang menyegarkan, mirip-mirip timun tapi lebih padat dan tidak terlalu berair. Rasanya memang cenderung netral, tapi justru di situ letak kejeniusannya! Dia seperti teman yang asik diajak ke mana saja; mau dicemplungin ke sayur asem oke, jadi tumisan pedas pun hayuk. Buat kamu yang punya masalah hipertensi atau kolesterol, labu siam ini sahabat sejati. Kandungan airnya tinggi dan kalorinya rendah banget, jadi aman buat yang lagi diet ketat atau sekadar ingin *detox* tipis-tipis setelah makan gorengan seminggu penuh. Rasanya yang ringan membuatnya tidak mendominasi, tapi justru menyerap bumbu dengan sangat baik. Di pasaran, biasanya ada dua varian utama: labu siam besar dan *baby* labu siam. Kalau yang besar, kulitnya agak tebal dan getahnya lumayan "lengket" kayak kenangan mantan, jadi butuh trik legendaris (potong pangkal dan gesek-gesek sampai keluar busa putih) buat ngilangin getahnya sebelum dimasak. Tapi kalau kamu tim anti-ribet, *baby* labu siam adalah pilihan tepat karena kulitnya lunak, rasanya lebih manis, dan bisa dimakan langsung tanpa perlu dikupas habis-habisan. Harganya? Jangan ditanya, sangat bersahabat dengan dompet tanggal tua. Kesimpulannya, ini adalah stok wajib di kulkas untuk segala situasi darurat kelaparan.